Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian
sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.
Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan
perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka
gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid dengan suara-suara nan syahdu
dan senandung yang acap menggetarkan hati.
Ada apa di balik senandung kitab-kitab Maulid itu, yang oleh sementara
pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan
berita-berita yang dibawa dalam senandung-senandung Maulid tersebut?
Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta
saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik
Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan
paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang disampaikannya
kepada para pembaca setia alKisah.
Makna sebagai Tujuan
Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan
urgensinya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah
disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam
puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak
disenandungkan? Jadi, yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya.
Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi
terasa lebih bermakna, agar penyampaiannya diharapkan lebih mengena
atau lebih terasa.
Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki
semacam dorongan yang lebih dari bacaan yang tidak bersenandung, bagi
kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki
dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang,
misalnya karena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di
tengah-tengah masyarakat kita.
Ini bukan cerita yang tidak pernah terjadi. Kalau di kalangan tertentu,
misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein
Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala
masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa
saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut),
ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan,
karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di kalangan mereka, dengan
gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehilangan kesadaran,
tenggelam dalam makna-makna kalimat yang tengah disenandungkan.
Saya juga pernah melihat pemandangan serupa saat di Suriah, ketika
dalam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait
dibaca, ada orang yang sampai melompat ke tengah-tengah dan berputar.
Apa yang dilakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa
yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terkadang lebih
mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan semacam
ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh
syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ketidaksadaran orang
tersebut. Jadi, mereka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada
kalimat-kalimat yang disenandungkan.
Disemarakkan oleh Muhadditsin
Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi
kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang
perlu diingat, berita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama.
Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi
oleh adanya kitab-kitab Maulid yang dianggap oleh sebagian ahli hadits
lebih banyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu
hadits masuk dalam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).
Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu
ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang
lebih penting dari sekadar gambaran berita-berita itu sendiri.
Gambaran-gambaran itu pun belum tentu mustahil. Sebagian berita itu
mungkin diceritakan dengan sanad yang dipertanyakan, tapi menyatakan
gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah
kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga
merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu
disebut maudhu’, ya bisa saja.
Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin
Auf, yang merasa gusar luar biasa terhadap anaknya itu karena sangat si
anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu
marah-marah karena merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa
terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran
Muhammad. Sayalah yang menjadi bidannya. Saat itu, saya sampai tidak
kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat
bintang-bintang yang datang mendekat.” Ini kan gambaran yang sangat
spektakuler hingga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang
yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.
Sekarang kita melihat, misalnya di Sunda Kelapa ada imam masjid yang
berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan
masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia
pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam
keadaan bersujud. Sejak dulu, banyak yang seperti ini, yaitu ketika
seseorang pun tak kuasa menolak berita-berita yang disampaikan oleh
begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.
Tapi kemudian, memang harus diseimbangkan antara yang shahih dan yang
berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini
dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.
Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Bantani sampai memerlukan diri untuk
menuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud
ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat
gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi
betapapun Al-Barzanji sendiri notabene seorang muhaddits.
Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits
unggulan. Bahkan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits
dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah
an-Nas min al-Hadits.
Tampak dalam karyanya itu ia seorang yang spesialis dalam ilmu hadits.
Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari
sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menunjukkan betapa ia seorang
yang sangat spesialis di bidang ini.
Tapi, tak urung, di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits yang menjadi
pertanyaan dan terus disorot oleh sebagian pihak. Itu sebabnya tadi
saya katakan, tokoh semacam Syaikh Ali Jabir, yang karena lahir dan
besar di Arab Saudi, sebagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia
berada pada pihak yang menolak berita-berita yang dianggap berlebihan
dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali
Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasulullah SAW terlahir dalam
keadaan bersujud.
Kasus Al-Albani
Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya
tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya.
Boleh saja sementara orang mengkritisinya, tapi selayaknya hanya
sampai pada batas melemahkan. Kalau sampai pada batas meniadakan, itu
perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?
Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam
periwayatannya terhadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW
tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena
itu, walaupun pada isu-isu tersebut mereka sebutkan lemah
periwayatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.
Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di
tengah masyarakat. Sayangnya, kemajuan itu tidak mendudukkan arti
kemajuan itu pada posisinya yang benar. Orang selalu dituntut secara
aqidah formal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diberlakukan
dalam konteks hukum atau aqidah, bukan pada riwayat semacam ini.
Karena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau
aqidah.
Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan
tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang seseorang wajib mempercayainya,
atau seseorang yang tidak mempercayainya telah kufur. Tidak demikian
ulama memandangnya. Jadi memang tidak perlu dituntut sejauh itu,
misalnya tentang sanadnya, keshahihannya, dan sebagainya.
Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang
justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu.
Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara
serampangan berani mengoreksi hadits Al-Bukhari sebagai sesuatu yang
menurutnya boleh jadi menanggung ketidakshahihan. Kata-kata ”boleh
jadi” itu harus disebut, jangan diklaim ”ini adalah tidak shahih”.
Sebab dalam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagaikan
samudera yang tak bertepi.
Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini
lemah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang
yang sangat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam
kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber darinya bertabrakan di
sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang
lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di
satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ribuan, seperti yang direkam
oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya,
Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti
tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan
inkonsistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan
sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk berdebat secara
terbuka dalam ilmu hadits, sesuatu yang semua orang tahu bahwa
Al-Albani tidak pernah mau melayaninya.
Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah
Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”.
Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena
memang itulah profesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mungkin ini juga
semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits terhadap
sikap over Al-Albani saat mengkritisi hadits, dengan kesiapan perangkat
keilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di
kalangan ulama ahli hadits.
Kekuasaan Allah Semata
Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar
istilah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sendiri sebenarnya baru
pernah mendengar istilah itu. Kemudian orang-orang semacam ini tampak
lebih muncul di permukaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak,
itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih
galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu
mereka pun kehabisan bekal untuk mendalami hal-hal pelik dalam ilmu
hadits.
Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepemimpinan Bapak Saiful Hamid, saya
melihat orang-orang yang rata-rata sebelumnya galak dengan perhelatan
Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan
kenikmatan membaca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan
membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat
wawasan tentang makna-makna yang tertulis dalam buku itu, mereka
menjadi kehilangan rasa untuk mempersoalkan ihwal haditsnya, karena
hati mereka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari
kitab-kitab Maulid itu.
Kalau dikatakan Nabi lahir dalam keadaan bersujud, kenapa ini jadi
pertanyaan besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan
sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir
lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat keluarnya
air seni), sekarang pun itu bukan persoalan, sebab berapa banyak bayi
saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada
yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuktikan bahwa beliau
dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?
Ternyata, untuk dunia medis zaman sekarang, hal itu pun bukan lagi
sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama
dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di dalam ginjal hanya dengan
cahaya sinar tertentu yang disorot dari luar tubuh seseorang. Cahaya
sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak
tertentu, yang semuanya itu diatur oleh tangan manusia. Bagaimana bisa
divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita
kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para
malaikat Allah SWT?
Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus
diperhatikan bahwa ini tidak tepat untuk dianggap sebagai tema-tema
kebohongan dalam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa
berbalik justru menjadi kamuflase atau pemalsuan yang berdampak bahwa
suatu ketika Islam bisa menjadi kehilangan identitasnya, karena
meminggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga
sekarang.
Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin karena semakin banyak tekanan yang
datang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai
media yang memandang dengan penuh ketidaksukaan terhadap
perhelatan-perhelatan Maulid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas
hal ini mencoba semakin ingin menyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan
sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap
dari yang dulu-dulu.
IY